EPIDEMIOLOGI GIZI
KEKURANGAN ENERGI PROTEIN PADA LANSIA
dan
PASIEN GERIATRI DI RUMAH SAKIT
Oleh :
1.
Ni Putu Ratih P. (G2C008050)
2.
Nina Sakinah (G2C008051)
3.
Novita M. S. (G2C008052)
4.
Nur Widianti (G2C008053)
5.
Putri K.P. (G2C008054)
6.
Putri S. P. (G2C008055)
7.
Raysa T.S. (G2C008057)
8. Renjani
Gina R. (G2C008058)
9. Reni
S. (G2C008059)
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
DIPONEGORO
SEMARANG
2009
KEKURANGAN ENERGI PROTEIN
PADA PASIEN GERIATRI DI RUMAH SAKIT
Malnutrisi energi protein merupakan gangguan yang sering terjadi pada
lansia. Malnutrisi energi menyebabkan tidak tercukupinya kebutuhan protein di mana
secara fisiologis keadaan ini dapat dilihat dengan hilangnya massa lemak bebas.
KEP yang terjadi dengan bertambahnya usia akan mempengaruhi massa otot,
kelemahan fisik dan gangguan sistem imun, sehingga meningkatkan angka kesakitan
dan kematian pada lansia karena besarnya resiko infeksi dan adanya penurunan
kemampuan fungsional.
Prevalensi kasus kekurangan energi protein pada pasien geriatri di rumah
sakit dilaporkan cukup tinggi. Perkiraannya antara 20 – 78% pada lansia yang
dirawat secara medis. Kasus ini sering ditemukan pada pasien, baik yang
mengalami penyakit akut maupun penyakit kronis yang berhubungan dengan
konsentrasi hiperkatabolik protein visceral. Malnutrisi merupakan faktor resiko utama yang berpengaruh terhadap
komplikasi dan pemulihan kesehatan pada lansia yang dirawat di rumah sakit.
Penelitian melaporkan bahwa peningkatan frekuensi malnutrisi selama dirawat di
rumah sakit meningkat disebabkan karena adanya penyakit kronis. Angka
peningkatan frekuensi malnutrisi ini sebesar 16% saat opname ,menjadi 22% saat
keluar . Studi lain melaporkan sekitar 16% - 26% setelah 1 minggu keluar dari rumah
sakit.
Terjadinya kekurangan energi protein pada pasien geriatri salah satunya
disebabkan karena lamanya perawatan di rumah sakit. Selain itu, banyaknya lansia yang mengalami kekurangan
gizi juga disebabkan karena kondisi penyakit yang kronis. Saat terkena penyakit
yang kronis, sebagian besar protein dibakar untuk menghasilkan energi yang
diperlukan tubuh. Karena asupan diet yang rendah, akibatnya lean body mass
lah yang akan digunakan/dirombak sebagai sumber energi tubuh. Hal ini
mengakibatkan terjadinya deplesi lean body mass . Pasien yang menderita
deplesi lean body mass akan lebih susah untuk sembuh jika suatu saat
terkena penyakit akut, dibandingkan dengan mereka yang status gizinya baik. 71%
terjadinya resiko kematian pada lansia disebabkan karena status gizi yang
buruk. Oleh karena itu, intervensi gizi yang baik perlu dilakukan untuk
melakukan pencegahan terhadap hal ini.
Beberapa faktor resiko yang memiliki hubungan dengan terjadinya malnutrisi
pada lansia yaitu :
1.
Usia
Bertambahnya usia menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional
seperti penurunan fungsi hormon, imunitas, dll. Menurunnya fungsi imun tubuh
menyebabkan lansia memiliki resiko tinggi untuk mengalami penyakit kronis dan
infeksi . Selain itu, penambahan usia berhubungan juga dengan penurunan fungsi
organ tubuh sepeti: dyspraxia fungsi makan (spt: mengunyah dan menelan; perubahan
interpretasi bau dan rasa dan penolakan untuk makan).
2. Infeksi
Infeksi merupakan faktor penyebab sekaligus faktor
yang dapat memperparah kondisi malnutrisi pada pasien. Saat mengalami infeksi,
diperlukan sumber zat gizi yang penting dalam jumlah cukup banyak untuk
meningkatkan fungsi imunitas tubuh. Jika selama terjadi infeksi hal ini tidak
terpenuhi, maka akan berujung pada kondisi kekurangan energi protein.
3. Komplikasi penyakit
Komplikasi penyakit lambat laun akan mengurangi jumlah cadangan energi
dalam tubuh.
4. Asupan gizi
Kurangnya asupan energi dan protein dalam jangka waktu panjang akan
menimbulkan hilangnya massa lemak bebas.
5. Lamanya perawatan di rumah
sakit
Kemungkinan berkaitan dengan gangguan psikologis yang menyebabkan hilangnya
berat badan. Banyak penelitian yang sudah membuktikan bahwa pada pasien rawat
inap yang telah sembuh dari sakitnya, sebagian besar mengalami kondisi
undernutrisi. Hasil penelitian ini didasarkan pada pengukuran terhadap protein
serum, pengukuran secara antropometri dan pengukuran berat badan. Penyakit
kritis dan perawatan di rumah sakit mengakibatkan stress katabolik, anorexia,
dan immobilisasi, yang memperburuk status nutrisi pada lansia. Pada keadaan
istirahat, seperti tidur di kasur atau tidur di kursi , dapat menyebabkan
penurunan massa otot ≤ 1.5%/hari.
6.
Rendahnya kesejahteraan sosial
dan rendahnya kualitas hidup
Rendahnya kesejahteraan sosial dan kualitas hidup
berkaitan erat dengan kondisi KEP. Salah satu contohnya yaitu pada golongan
dengan pendapatan rendah, mungkin tidak mampu untuk membeli bahan makanan yang
sesuai kebutuhan saat mereka sakit. Makanan yang dibbeli hanya asal kenyang
saja, tanpa memperhatikan nilai gizinya.
7.
Penyakit kronis
Pada pasien yang mengalami penyakit kronis, sebagian besar protein dibakar
untuk menghasilkan energi yang diperlukan oleh tubuh. Karena asupan diet yang
rendah, akibatnya lean body mass lah yang akan digunakan/dirombak
sebagai sumber energi tubuh. Hal ini mengakibatkan terjadinya deplesi lean body
mass .
Untuk mengidentifikasi apakah pasien tertentu tergolong KEP atau tidak, maka
dilakukan pengukuran-pengukuran, di antaranya pengukuran antropometri (pengukuran
beerat badan, tinggi badan, LILA dan LOLA), indeks BMI, riwayat penyusutan
berat badan dan pengukuran secara biokimia yakni pengukuran kadar serum
(albumin, total protein, dan total kolesterol). Selain itu, dilakukan juga
pengukuran terhadap pengaruh kebiasaan merokok, alkohol, status fungsional,
tingkat pendidikan, dan tingkat keparahan penyakit.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan di bidang gizi,
peneliti telah menemukan cara baru menghitung indeks status gizi pada lansia,
mengingat fisik lansia umumnya tidak memungkinkan untuk dapat berdiri tegak
jika akan dilakukan pengukuran tinggi badan, selain itu mereka juga memiliki
berat badan yang tidak ideal lagi,
sehingga sulit untuk mendapatkan data yang akurat. Oleh karena itu,
digunakanlah suatu metode baru penghitungan status gizi pada lansia, disebut
dengan GNRI (Geriatric Nutritional Risk Index). GNRI merupakan suatu metode pengukuran rumus berat
badan biasa dengan berat badan ideal menurut rumus Lorentz (WLo) pada lansia
yang dapat digunakan di rumah sakit.
Rumus yang digunakan :
( 1,489 x albumin g/L) +
(41,7 x berat badan )
Perhitungannya
dapat dilakukan dengan mengetahui berat badan dan kadar albumin darah pasien.
Dari hasil pengukuran ini kemudian ditentukan status gizinya dengan mengacu
pada tetapan berikut :
Resiko tinggi jika : GNRI = 82
Resiko sedang jika : GNRI = 82-92
Resiko rendah jika : GNRI = 92-98
Tidak
beresiko jika : GNRI = 98
Kondisi KEP
memiliki hubungan yang erat dengan kejadian penyakit lainnya, di antaranya :
penyakit paru obstruksi, gagal jantung, gagal ginjal kronis, demensia, dan
stroke.
- Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
Prevalensi gizi buruk dilaporkan bervariasi antara 20% - 70% untuk berbagai
kelompok pasien dengan PPOK dan emfisema . Malnutrisi pada pasien dengan PPOK
disebabkan karena ketidakseimbangan antara pengeluaran energi dan asupan makanan.
Sebuah penelitian melaporkan bahwa pada pasien PPOK yang mengalami kehilangan berat badan memiliki angka kelangsungan hidup lebih pendek 5 tahun (rata-rata
dari 3 tahun) dari pada pasien PPOK tanpa kehilangan berat badan.
- Stroke
Sekitar 8-16% pasien stroke menunjukkan tanda-tanda KEP pada saat
menderita stroke dan lebih dari 80% pasien yang dirawat selama lebih dari 21
hari karena stroke mengalami kesulitan makan . Efek dari stroke pada banyak
aspek fungsi dapat memberikan kontribusi terhadap terjadinya gangguan nutrisi
pada pasien. Dalam waktu 2 minggu pasien stroke (87%) baru memperoleh kembali
kemampuan untuk menelan sehingga menyebabkan KEP. Kelumpuhan dan adanya
perubahan indra penciuman dan rasa. Fase katabolik yang akut menyebabkan
penurunan status gizi yang cepat bagi
banyak pasien stroke. Malnutrisi pada pasien stroke dikaitkan dengan
peningkatan tingkat infeksi, luka baring
,waktu pengobatan yang makin panjang , dan meningkatnya angka kematian .
- Gagal jantung kronik
Prevalensi PEM sehubungan dengan gagal jantung kronis, yaitu, jantung
cachexia , bervariasi antara 10% - 25%, tergantung pada jenis-kegagalan jantung
pasien. Mekanisme patologisnya yaitu , nafsu makan berkurang atau
perasaan penuh cepat, hipertensi portal sekunder dengan stasis vena di splanchnic
hepatik-daerah dengan dispepsia, malabsorpsi lipid dan kehilangan protein dalam
usus, dan kelainan pada kinetik catecholamine. KEP menyebabkan hypotrophy otot
jantung dalam bagian hypotrophy dari
otot rangka .
KEP pada pasien dengan gagal jantung kronis dikaitkan dengan peningkatan angka
kematian.
- Demensia
Malnutrisi terjadi pada 12-50% dari pasien yang terdata dengan gangguan
demensia . Demensia menyebabkan berkurangnya asupan energi, sebagian karena
menurunnya nafsu makan.Demensia juga menyebabkan lansia menjadi sering lupa
makan. Sebuah penelitian longitudinal
selam 6 tahun menyatakan bahwa
berat badan berkorelasi dengan derajat dan perkembangan DAT (salah satu tipe
penyakit Alzheimer) dan kematian, sedangkan kenaikan berat badan ini berkaitan
dengan penurunan risiko kematian.
TREATMENT GIZI
Treatment
gizi nyata memberikan efek positif pada
pasien yang mengalami sakit kronis, pasien nonmalignant (penyakit tidak
menular) dengan manifest KEP atau resiko KEP. Terapi gizi dapat dilakukan
dengan:
TERAPI DIET :
berhasil menaikkan BB rata-rata 3,5 kg
Berdasarkan
penelitian epidemiologi Prospective: mempertahankan berat badan setelah
menopause merupakan faktor yang signifikan dalam mencegah patah tulang
(pencegahan terhadap osteoporosis)
SUPLEMEN ORAL
Suplemen
oral ini diberikan dalam dua periode.
Periode
1 : pengaruh suplementasi terhadap peningkatan asupan protein dan energi secara
signifikan tidak ada perbedaan antara kelompok intervensi dengan kelompok
kontrol.
Periode
2 : terjadi peningkatan asupan protein dan energi yang signifikan pada kelompok
intervensi tetapi tidak terjadi pada lansia kelompok kontrol bahkan pada
kelompok ini asupan protein dan energinya cenderung lebih rendah bila
dibandingkan kelompok intervensi
TERAPI HORMONAL :
dilakukan dengan pemberian hormon pertumbuhan pada pasien (growth hormone).
Ternyata memberi dampak positif terhadap penurunan resiko terjadinya malnutrisi
pada lansia dan psien geriatri.
DAFTAR PUSTAKA
- Longjian Liu , Melinda M.Bopp, et al. Undernutrition
and Risk of Mortality in Elderly Patients Within 1 Year of Hospital
Discharge. Journal of Gerontology: MEDICAL SCIENCES In the
Public Domain 2002, Vol. 57A, No. 11, M741–M746.
- Olivier Bouillanne, Gilles Morineau, et al. Geriatric
Nutritional Risk Index: a new index for evaluating at-risk elderly medical
patients.
Am J Clin Nutr 2005;82:777– 783.
- Dennis H. Sulivan, MD, Melinda M. Bopp,
Bs, Paula K. Roberson, PhD. Protein
Energy-Undernutrition And Life-Threatening Complication Among The
Hospitalized Elderly. J GEN INTER MED 2002;17:923-932.
- Asa M. Brantervik, et al. Older
hospitalised patients at risk of malnutrition: correlation with quality of
life , aid from the social welfare
system and length of stay? Age and Ageing doi:10.1093/ageing/afi125.
- Emmanuelle E.Fabre,et al. Gene
Polymorphisms of oxidative stress enzymes : prediction of elderly
renutrition. Am J Clin Nutr 2008;87:1504-1512.
- Cécile
Bos, Robert Benamouzig, Anne Bruhat, Christian Roux, Sylvain Mahé, Paul
Valensi, Claire Gaudichon, Françoise Ferrière, Jacques Rautureau, and
Daniel Tomé. Short-term protein and energy
supplementation activates nitrogen kinetics and accretion in poorly
nourished elderly subjects. Am J Clin Nutr 2000;71:1129–37.
- Gunnar
Akner and Tommy Cederholm. Treatment of
protein-energy malnutrition in chronic nonmalignant disorders. Am J Clin Nutr 2001;74:6-24.
- Patrick Ammann, Sandrine Bourrin,
Jean-Philippe Bonjour, Jean-Marc Meyer, and Rene´ Rizzoli. Protein
Undernutrition-Induced Bone Loss Is Associated with Decreased IGF-I Levels
and Estrogen Deficiency. J Bone Miner Res 2000;15:683–690.
- Isabelle
Bourdel-Marchasson,et al. Functional and metabolic early changes in
calf muscle occurring during nutritional repletion in malnourished elderly
patients. Am J Clin Nutr 2001;73:832-838.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar